SAEIN, SP |
Wajar saja, Saein sering mendapat cemoohan dari masyarakat sekitar.
Pada masa-masa awal menekuni profesi sebagai petani hingga lima tahun
lamanya, sering mendapatkan cemooh dan cibiran dari masyarakat
sekitar. Ungkapan dan pertanyaan yang bernada sinis sudah menjadi menu
sehari-hari baginya. Mereka menganggap aneh ada sarjana dari perguruan
tinggi terkemuka mau menempuh hidup di desa sebagai petani gurem.
“Kalau mau jadi petani, kan tidak perlu kuliah. Sayang banget gelar
sarjana dan ijasah yang kamu dapat,” begitu sebagian ungkapan yang
sering diterima pada waktu itu. Satu hal yang sangat disayangkan,
orang-orang yang sering mencemooh dan menyampaikan ungkapan bernada
sinis justru adalah orang-orang yang berpendidikan dan cukup terpandang.
Sebagian besar warga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya
memang masih menilai kesuksesan seseorang berdasarkan pangkat, jabatan,
dan harta.
“Saya hanya berdo’รก agar suatu saat mereka bisa menyadari bahwa
keputusan yang saya ambil dan tindakan yang saya tempuh adalah benar.
Saya menyikapi semua hal itu dengan tenang. Di sisi lain, saya juga
sangat bersyukur, karena keputusan saya dalam bertani mendapat dukungan
penuh dari keluarga,” urai bapak dua anak ini.
Memang tak banyak mahasiswa yang setelah sukses meraih gelar sarjana
bersedia kembali pulang untuk membangun kampung halamannya. Namun,
Saein adalah satu di antaranya. Ia memobilisasi para petani untuk
kembali ke pertanian organik yang ramah lingkungan.
Begitu tamat dari IPB Bogor tahun 1995, ia bekerja sebagai peneliti
di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Bogor dengan status honorer. Merasa
bukan dunianya berkutat di laboratorium penelitian, akhirnya ia hanya
bertahan setengah tahun, lalu menyatakan ke luar. Selanjutnya ia pindah
kerja sebagai tenaga lapangan di proyek Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
IPB. Di tempat kerja terakhir itu, hanya bertahan dua tahun. Panggilan
hatinya berkata, ingin pulang kampung, membangun bidang pertanian di
desanya, Bukateja.
Berbekal sawah warisan dari orang tuanya seluas 0,8 hektar yang
berada di Dusun Bukateja Kulon dan Gual Lele Desa Bukateja, Kecamatan
Bukateja, Purbalingga, Saein hidup sebagai petani. Namun bukan sembarang
petani biasa yang ia lakoni.
Tak bergantung pada bantuan pemerintah atau asing, ia merogoh koceknya sendiri yang ia sisihkan dari hasil tak seberapa sebagai petani untuk riset pupuk dan pestisida organik, serta bibit padi. Bagi Saein, segala karya dan temuannya dicurahkan sepenuhnya untuk para petani di kampungnya. Saein berupaya mengembangkan pertanian ramah lingkungan, dengan membuat pupuk dan pestisida organik.
Perlahan namun pasti, ratusan petani di Bukateja kini banyak yang
meniru langkah pria ini. Saein juga tak mengenal lelah untuk melakukan
serangkaian penelitian di lapangan. Yakni melakukan penyilangan beragam
varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru. Salah
satunya diberi nama “Mutiara“, hasil persilangan padi Wulung dan
Pandanwangi. Diberi nama “Mutiara”, karena bentuk berasnya bulan lonjong
seperti mutiara, dan warnanya mengkilat.
Varietas “Mutiara” temuan Saein ini memiliki sejumlah keunggulan. Yakni sangat hemat pupuk, tahan penyakit busuk daun, produksinya tinggi (rata-rata 6,7 ton per hektar dan produksi tertinggi 8,4 ton/hektar), butiran beras tidak mufah patah, tahan wereng, rasa nasinya pulen, dan rendemannya tinggi. Untuk tingkat rendeman tinggi ini, jika diselep di mesin penggilingan padi, gabah 1 kwintal dari varietas padi “Mutiara” bisa menghasilkan 65-67 kg.
Tanpa bermaksud mengkomersialkan diri, dan tetap mengedepankan aspek
sosial, bibit padi varetas “Mutiara” itu kini juga dijual di rumah Saein
di Jl. Kecombron No. 2 RT/RW 02/VI Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja,
Purbalingga. Ia jual per kg seharga Rp 7000,-. Sistem penjualannya
secara gethok tular — dari mulut ke mulut. Mengingat Saein juga sering
diundang untuk menularkan kepiawaiannya itu hingga ke berbagai kota
seperti di Jogja, Jabar dan Jatim, maka varietas padi Mutiara itu pun
kian dikenal.
Sayangnya, varietas padi itu belum bersertfikat. Pria peraih
penghargaan “Kehati Awards” tahun 2009 untuk Kategori Cipta Lestari
Kehati mengaku, kendala biaya dan birokrasi yang menjadikan ia belum
mengurus sertifikat untuk padi temuannya itu. Sejumlah petani mengakui,
berkat kiprah Saein, ratusan petani di Bukateja kini bisa merasakan
manfaatnya. Para petani pun tak segan menyediakan lahan uji coba secara
gotong royong. Untuk Saein sendiri, dari 0,8 hektar lahan miliknya,
sekitar 20 ubin digunakan untuk riset dan penelitian.
Saein memang sosok petani intelek yang tak kenal lelah. Ia yang belakangan tinggal di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, istrinya Sri Lestari asli Desa Penaruban, setiap hari harus bolak-balik sejauh kurang lebih 30 km pulang pergi, demi untuk memajukan pertanian di wilayah Kecamatan Bukateja dan sekitarnya. Ia pun terus melakukan riset dan penelitian. Bukan untuk mencari pengakuan diri, tapi semata-mata untuk kemandirian para petani di sekelilingnya.
“Jalani hidup apa adanya. Hidup itu ibadah. Saya ingin mengamalkan
ilmu itu sebagai ibadah, demi memajukan nasib petani di lingkungan
saya,” ujar peraih penghargaan Liputan 6 Awards – SCTV tahun 2011
untuk kategori “Inovasi”.
Saein juga memiliki kesenangan bila saat mendapatkan hasil panen yang
bagus. Selain itu juga apabila bisa membantu sesama petani dalam
mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Apabila rekomendasi
atau anjuran yang diberikan ternyata dijalankan oleh petani dan terbukti
membuahkan hasil, maka hal itu menjadi kepuasan tersendiri.
Posting Komentar