|
Film-Film Pendek SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol |
Awalnya, niat Aris Prasetyo mendirikan kegiatan ekstrakurikuler film di
SMP tempatnya mengajar sangat sederhana. Dia hanya ingin menarik minat
anak-anak di desa pedalaman Purbalingga, Jateng, untuk melanjutkan
sekolah. Empat tahun berjalan, puluhan award film pendek diraih dan
minat siswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP meningkat tujuh
kali lipat.
SUATU ketika, pada awal 2008, pandangan mata Aris Prasetyo tanpa sengaja
tertuju pada sebuah brosur berupa fotokopi hitam putih yang tidak
menarik. Brosur berwarna buram itu berisi pengumuman penerimaan siswa
baru SMP Negeri 4 Satu Atap, Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karang Moncol,
Purbalingga, Jateng.
Sang istri yang kebetulan menjadi guru madrasah ibtidaiyah di Desa
Tunjungmuli tiba-tiba menyemangatinya untuk ikut mengabdi sebagai guru
SMP di lereng Gunung Slamet itu. Aris yang saat SMA memang bercita-cita
menjadi guru seolah mendapat pencerahan. Apalagi, ayahnya merupakan
pensiunan guru.
Tanpa banyak pikir, alumnus Jurusan Seni Rupa Murni Institut Seni
Indonesia (ISI) Jogjakarta pada 2006 itu memutuskan untuk mendaftar
sebagai guru. "Seminggu kemudian, saya diterima menjadi guru pengabdi
(non-PNS, Red)," kata Aris di Jakarta pekan lalu.
Setelah bergabung dengan SMP Negeri 4 Satu Atap, Aris baru mengetahui
bahwa sekolah dengan dua ruang kelas dan satu ruang guru itu hanya
memiliki 39 siswa. Sudah jadi rahasia umum, anak-anak Desa Tunjungmuli
dan sekitarnya kurang berminat untuk melanjutkan pendidikan setelah
lulus SD. Faktor orang tua yang juga tidak antusias tentu berpengaruh.
Lingkaran setan tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Karena itu,
didirikanlah SMP Negeri 4 Satu Atap pada 2007. SMP itu disebut "satu
atap" karena lokasinya menyatu dengan SD Negeri 2 Tunjungmuli. "Begitu
lulus SD, kalau nggak menikah, ya berangkat (mencari kerja, Red) ke
Jakarta," ungkap pria kelahiran Purbalingga, 4 Juli 1979, itu.
Aris merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berupaya memikirkan
cara yang efektif untuk menarik minat anak-anak dan orang tua.
Dia lantas mengusulkan kepada pimpinan sekolah untuk mendirikan kegiatan
ekstrakurikuler (ekskul) film. Aris langsung turun tangan dengan
menjadi guru pembina. Dia juga mengajak rekannya, Adi Priyanto, seorang
guru bahasa di sekolah untuk memperkuat dari unsur drama.
Dalam waktu singkat, Aris berhasil merampungkan "proyek pertama" film
pendek mengenai profil SMP Negeri 4 Satu Atap. Inti film pendek itu
sebenarnya mengajak anak-anak untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP.
Ada cerita mengenai keberhasilan siswa SMP itu meraih juara I lomba
lukis se-Kabupaten Purbalingga. Ada juga cerita mengenai ekskul film
yang baru saja dibentuk.
Begitu film berdurasi kurang dari 15 menit itu siap tayang, Aris
memasang layar tancap di lapangan seberang sekolah. Respons masyarakat
luar biasa.
"Warga yang datang untuk melihat banyak banget. Anak -anak senang," tuturnya.
Yang lebih membuat Aris bahagia, pada tahun itu jumlah siswa yang masuk
di SMP Negeri 4 Satu Atap melonjak menjadi 129 siswa. Sampai-sampai
ruang guru terpaksa ikut dipakai menjadi kelas.
Perkembangan positif itu membuat Aris dan kawan-kawan bertekad terus
mengembangkan ekskul yang baru dirintisnya tersebut. Selain Adi
Priyanto, Aris mendapat bantuan "tenaga" dari staf tata usaha bernama
Malik Abidin dan seorang penjaga sekolah Tofik Hidayat. Belakangan,
Wildan Mukhib, guru bimbingan konseling, juga ikut mengasuh ekskul film.
Sebagai sarjana seni rupa murni, dari mana Aris mendapatkan ilmu membuat
film? "Kebetulan keluarga punya usaha video shooting manten," kata
Aris.
Namun, Aris sebenarnya baru belajar membuat film pendek secara otodidak
pada 2004. Bersama sahabatnya, Bowo Leksono, yang pengetahuannya tentang
film sama-sama nol puthul, keduanya nekat membuat film pendek berjudul
Si Buta dan Penuntunnya.
"Setelah itu, saya dan Bowo sempat bikin film pendek bersama. Tujuan
kami ingin melestarikan local power. Maka, semua film yang kami buat
pakai bahasa Jawa Banyumasan," tuturnya.
Ketika Aris memilih fokus sebagai guru sambil mengembangkan pembuatan
film pendek di kalangan anak didiknya, Bowo terus berkosentrasi pada
pengembangan komunitas di Purbalingga. "Kami tetap berhubungan baik di
komunitas (film, Red). Tapi, proses kreatif jalan sendiri-sendiri,"
terangnya.
Untuk menunjang ekskul film, Aris merelakan handycam pribadinya yang
berukuran kecil menjadi alat eksperimen para siswa. Belakangan, dia
membeli kamera panggul seharga Rp 9 jutaan. "Tapi, hasilnya jelek.
Gambarnya kayak handycam," ujarnya, dengan nada jengkel.
Untung, keluarga memperbolehkan Aris meminjam kamera yang masih dipakai
untuk bisnis video shooting. "Jadi, semua jalan cuma waton nekat (modal
nekat, Red)," ujar bapak satu anak itu.
Namun, semua pengorbanan itu tak sia-sia. Dua film pendek mampu
diproduksi anak-anak asuh Aris sepanjang 2009. Masing-masing berjudul
Baju buat Kakek dan Sang Patriot. Mulai ide cerita, sutradara, sebagian
besar pemeran, sampai proses penggarapan dikerjakan sendiri oleh para
siswa. Aris hanya memberikan pengarahan dan bimbingan.
Di luar dugaan, film Baju buat Kakek yang berdurasi 14 menit berhasil
menyabet penghargaan Film Terbaik di ajang Festival Film Anak (FFA)
Medan pada 2009. "Baju buat Kakek mengisahkan seorang anak bernama
Prapti yang tinggal dengan kakeknya," kata Aris.
Suatu hari, sang kakek, seorang pembuat anyaman ceting (bakul nasi),
divonis dokter menderita kanker otak. Mengetahui umurnya tak lama lagi,
sang kakek mengajak cucunya "Prapti" ke toko kain untuk membeli kain
mori sebagai "persiapan". Tapi, toko kain itu rupanya tengah kehabisan
stok.
Prapti awalnya tak mengerti bahwa kain mori adalah kain kafan untuk membungkus jenazah.
Begitu mengetahui kebenaran mengenai kain mori dan penyakit kakeknya,
Prapti yang sangat bersedih memecah celengannya. Dia bertekad membelikan
kain mori sebagai kado terakhir buat sangat kakek. Tapi, karena
tabungannya masih kurang, Prapti mencari tambahan dengan menjadi
pemulung.
Film Baju buat Kakek itu juga mendapat apresiasi di ajang International
Film Festival V di Jakarta pada 2010, yang mengangkat tema film-film
sutradara perempuan sedunia. Kebetulan film Baju buat Kakek disutradarai
perempuan. Dia adalah Misyatun, siswi SMP Negeri 4 Satu Atap yang saat
itu duduk di kelas VIII. Setahun sebelumnya, film tersebut juga menjadi
juara 1 Festival Film Remaja 2009 dengan menggondol empat kategori;
Sutradara Terbaik, Film Terbaik, Aktris Terbaik, Editor Terbaik.
Sang Patriot, film yang berdurasi lebih singkat, yakni 11 menit, juga
berhasil meraih juara harapan III pada Festival Film Remaja (FFR) 2009.
Selain itu, film tersebut menyedot perhatian dalam ajang Ganesha Film
Festival (GanfFest) yang diselenggarakan Lembaga Film Mahasiswa Institut
Teknologi Bandung (ITB) pada 2010. Di sana Sang Patriot kembali
mengukir prestasi sebagai nomine lima besar Skenario Terbaik dan nomine
film yang menggunakan unsur teknologi.
Sang Patriot bercerita mengenai keinginan seorang ibu agar putra semata
wayangnya menjadi tentara. Sayang, si anak ternyata tidak berhasil lolos
tes masuk sekolah tentara. Sang ayah yang pensiunan tentara sebenarnya
memiliki koneksi. Seorang anak buahnya di masa peperangan kini menjadi
pejabat penting militer. Meski begitu, sang ayah tak mau memanfaatkan
itu untuk meloloskan anaknya menjadi tentara.
"Pesan yang hendak disampaikan melalui film Sang Patriot ini soal kejujuran," kata Aris.
Sejak dirintis 2008, puluhan penghargaan film dikoleksi SMP Negeri 4
Satu Atap. "Ada 32 piala yang sudah kami terima," ungkap Aris.
Beberapa film lain yang cukup sukses, antara lain, Pigura (2010) dan
Sang Maestro yang Tak Dikenal (2011). Pada Festival Film Indonesia (FFI)
di Jogjakarta, 8 Desember 2012, film berjudul Langka Receh yang
disutradarai dua siswa SMP Negeri 4 Satu Atap, yakni Miftakhatun dan Eka
Susilawati, meraih Penghargaan Khusus Kategori Film Pendek sebagai Fim
yang Mencerminkan Kearifan Lokal dan Kritis terhadap Keadaan Sosial.
Film berdurasi lima menit yang diproduksi awal 2012 itu sebelumnya
meraih sejumlah penghargaan. Di antaranya, Film Terbaik Kedua Kids
International Film Festival (KidsFest) 2012 dan Film Terbaik peraih
Gayaman Award dalam Festival Film Solo (FFS) 2012. Kemudian, Film Pendek
Fiksi SMP Terbaik Festival Film Purbalingga (FFP) 2012, juara III Lomba
Cipta Film 50 Tahun Lesbumi 2012, juara II Festival Film Integritas
2012, dan Penghargaan Khusus (Special Mention) dari juri Jambore Film
Pendek 2012 yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Film Langka Receh, jelas Aris, menceritakan praktik kecurangan yang
sering dilakukan penjual. Sering terjadi penjual atau petugas kasir
memberikan kembalian kepada pembeli dalam bentuk permen. Dalam film itu,
ada seorang anak yang rajin mengumpulkan "permen kembalian" dari sebuah
toko saat berbelanja.
Setelah terkumpul banyak, si anak mau memakainya untuk berbelanja di
toko yang sama. "Tapi, penjualnya tidak mau," ujar Aris, lantas tertawa.
Sebagai guru pembimbing ekskul film, Aris senang karena ikut
mengharumkan nama sekolah. Apalagi, banyak anak asuhnya yang sukses
mengukir prestasi di tingkat nasional dan internasional. Tapi, di atas
semua itu, dia bergembira karena jumlah anak yang melanjutkan sekolah ke
SMP semakin banyak. Pada 2012 ini, jumlah siswa SMP Negeri 4 Satu Atap
mencapai 289 siswa atau naik tujuh kali lipat jika dibandingkan dengan
2007.
Meski jumlah siswa meningkat signifikan, fasilitas yang dimiliki SMP
Negeri 4 Satu Atap masih sangat terbatas. Hingga sekarang, mereka baru
memiliki lima ruang kelas. Itu pun dengan satu ruang guru yang
difungsikan sebagai kelas dan satu kelas yang sebenarnya adalah lobi
yang disekat tripleks. Karena itu, ada tiga kelas yang terpaksa masuk
sore. Bahkan, untuk perpustakan, ruang UKS, dan ruang guru, SMP Negeri 4
Satu Atap meminjam ruangan milik SD Negeri 2 Tunjungmuli.
"Awalnya, kami membuat film untuk menarik anak agar mau bersekolah.
Begitu siswanya sudah banyak, kelasnya nggak ada. Sudah minta ke diknas,
tapi jawabannya masih diproses," katanya, lantas tersenyum kecut.
"Saya ingin sekali ketemu Pak Nuh (menteri pendidikan dan kebudayaan,
Red) untuk curhat soal ruang kelas dan kebutuhan standar sekolah kami.
Saya yakin Pak Menteri dapat mengabulkan," sambung Aris.
Saat ini, SMP Negeri 4 Satu Atap memiliki 12 orang guru, termasuk kepala
sekolah. Tapi, hanya kepala sekolah yang berstatus PNS. Guru lainnya
masih berstatus guru pengabdian. "Di sekolah kami tidak ada satu pun
guru yang bestatus PNS, kecuali kepala sekolah karena dia sebenarnya
kepala SD yang merangkap di SMP‚" kata Aris.
Sebagai apresiasi atas usahanya itu, pada 6 Desember lalu, Aris meraih
Megawati Soekarno Putri Award untuk kategori Pahlawan Muda Bidang Seni
dan Budaya. Juri kategori itu, yakni sineas senior Garin Nugroho, tidak
ragu menjatuhkan pilihan kepada Aris.
Kegiatan ekstrakurikuler film di SMP Negeri 4 Satu Atap kini mulai
berkembang ke ranah semiprofesional dengan mendirikan label Sawah Artha
Film. Film Langka Receh, misalnya, telah dikontrak salah satu grup
stasiun televisi nasional selama satu tahun atau sampai September 2013.
"Royaltinya untuk beasiswa anak-anak di Tunjungmuli dan pengembangan
kegiatan kreatif anak-anak yang tidak terbiayai pemerintah," ucap Aris.